Pages

Minggu, 12 April 2015

Haramkah Suami terminum susu Istri

Hukum Meminum Air Susu Istri

                                                                                   

Pertanyaan
Assalamu’alaikum. Ustadz, bagaimana hukumnya menelan ASI istri sendiri saat berhubungan seksual?
xxxx bin abdullah- Malang
Jawaban

Mubah hukumnya  meminum air susu istri dengan sengaja, sebagaimana mubahnya menelan ludah, keringat, air mata, dan air mani  karena tidak ada dalil yang mengharamkan dan tidak termasuk najis. Meminum air susu istri hukumnya mubah, baik untuk  kepentingan Istimta’(bersenang-senang), Tadawi (berobat) atau kepentingan-kepentingan lain yang dibenarkan Syara’ dan tidak ada konsekuensi hukum Rodho’ah/persusuan apapun, kecuali jika suami berusia kurang dari dari 2 (dua) tahun dan meminum minimal lima kali susuan. Jika aktivitas meminum tersebut dilakukan secara tidak  sengaja maka lebih jelas lagi kebolehannya.
Air susu wanita termasuk minuman yang halal karena tidak ada dalil yang mengharamkan. Ketiadaan dalil yang mengharamkan ini  menjadikan status air susu wanita menjadi minuman yang halal karena termasuk keumuman firman Allah;
{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا} [البقرة: 29]
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian (Al-Baqoroh; 29)
Air susu wanita yang dikonsumsi bayi tanpa ada celaan, cukup jelas menunjukkan status kehalalannya. Namun hal ini tidak bisa difahami bahwa air susu wanita hanya halal bagi bayi, karena tidak ada dalil yang mengkhususkan bahwa minuman itu hanya bagi bayi. Juga tidak bisa difahami bahwa air susu wanita hanya boleh dikonsumsi selain bayi dalam kondisi darurat karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa air susu wanita hanya boleh dikonsumsi dalam kondisi darurat. Mengkhususkan kebolehan memanfaatkan sesuatu atau membatasinya harus didasarkan dalil.
Air susu wanita juga bukan benda najis sehingga bisa diharamkan mengkonsumsinya dengan alasan kenajisannya. Bahkan, air susu wanita yang telah menjadi mayatpun tetap dihukumi suci.  Realitas air susu wanita yang diminum bayi dan dibenarkan syara’ sudah cukup jelas menunjukkan status kesuciannya. Syara’ juga tidak membagi air susu wanita menjadi dua kondisi: Jika diminum bayi statusnya suci, dan jika diminum selain bayi maka statusnya najis. Juga tidak ada pembedaan: Air susu wanita yang masih hidup adalah suci sementara air susu wanita yang telah mati dihkumi najis. Tidak ada pembedaan-pembedaan seperti ini dan tidak ada dalil yang menyatakannya, karena itu status air susu wanita tetap suci karena untuk menyatakan kenajisan sesuatu semuanya harus dinyatakan oleh dalil atau yang ditunjuk oleh dalil.
Oleh karena air susu wanita termasuk benda halal dan bukan benda najis, maka mubah hukumnya jika seorang lelaki meminum air susu dari istrinya sebagaimana mubahnya menelan ludah, keringat, air mata, atau air mani. Meminum air susu wanita  hukumnya mubah baik untuk  kepentingan Istimta’ (bersenang-senang), Tadawi (berobat) atau kepentingan-kepentingan lain yang dibenarkan Syara’.  Terkait penggunaan air susu sebagai obat Ibnu Taimiyah berfatwa sebagai berikut;
الفتاوى الكبرى (3/ 162)
أَمَّا غَسْلُ عَيْنَيْهِ بِلَبَنِ امْرَأَتِهِ يَجُوزُ، وَلَا تَحْرُمُ بِذَلِكَ عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ
“Adapun mencuci kedua mata dengan memakai air susu istri maka hal ini boleh, hal tersebut tidak membuat istri menjadi mahram (Al-Fatawa Al-Kubro, vol.3, hlm 162)
Jika seorang lelaki meminum air susu istrinya, maka tidak ada konsekuensi hukumRodho’ah/persusuan apapun, misalnya sang suami statusnya menjadi anak susu dari istrinya, sehingga otomatis pernikahannya harus dibubarkan kerana suami telah menjadi mahromnya.  Tidak ada konsekuensi itu, karena agar berlaku hukum-hukum Rodho’ah/persusuan, harus terealisasi dua syarat;
PertamaAktivitas menyusu minimal dilakukan lima kali susuan.
Artinya, aktivitas meminum susu yang cuma sedikit, atau cuma sekali-dua kali yang tidak sampai lima kali,  tidak dihitung sebagai aktivitas menyusu yang berkonsekuensi hukum. Dalil yang menunjukkan syarat minimal lima kali susuan adalah hadis berikut;
صحيح مسلم (7/ 352)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ
dari ‘Aisyah dia berkata: “Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (H.R.Muslim)
Hadis di atas menunjukkan bahwa mulanya jumlah minimal susuan yang berkonsekuensi hukum adalah sepuluh kali susuan. Kemudian hukum ini dinasakh menjadi lima kali susuan, dan berlaku terus hingga kini.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jumlah minimal persusuan adalah sepuluh kali susuan, maka pendapat ini telah terbantahkan dengan hadis di atas, karena hadis di atas cukup lugas menjelaskan bahwa syarat minimal sepuluh susuan itu memang berlaku sebelumnya, namun hukum tersebut telah dinasakh sehingga tidak bisa dipakai lagi.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jumlah minimal persusuan adalah tidak dibatasi, yakni sedikit atau banyak sudah berkonsekuensi hukum, atau mengatakan: Selama kadarnya sudah cukup membatalkan puasa maka sudah berkonsekuensi hukum, maka pendapat ini tertolak karena bertentangan dengan riwayat yang lugas dari aisyah di atas. Atsar-atsar yang menunjukkan sejumlah Shahabat berpendapat seperti ini lebih utama  ditinggalkan karena bertentangan dengan hadis shahih yang lebih dekat difahami sebagai hadis marfu’.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jumlah minimal persusuan adalah tiga kali susuan dengan mendasarkan pada dalil seperti;
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ [سنن أبى داود 5/ 450]
Dari Aisyah r.ha dia berkata, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “satu atau dua susuan tidaklah bisa menjadikan mahram” (H.R.Abu Dawud)
.
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ قَالَتْ دَخَلَ أَعْرَابِيٌّ عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِي فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي كَانَتْ لِي امْرَأَةٌ فَتَزَوَّجْتُ عَلَيْهَا أُخْرَى فَزَعَمَتْ امْرَأَتِي الْأُولَى أَنَّهَا أَرْضَعَتْ امْرَأَتِي الْحُدْثَى رَضْعَةً أَوْ رَضْعَتَيْنِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ وَالْإِمْلَاجَتَانِ
[صحيح مسلم 7/ 346]
Dari Ummu Al Fadhl dia berkata, seorang arab masuk menemui nabi SAW sementara beliau berada dalam rumahku. Dia berkata, “wahai Nabiyullah, sesungguhnya padaku terdapat seorang wanita, lalu aku menikahinya. Istri pertamaku berkata bahwa dia telah menyusuinya dua kali susuan, maka beliau SAW bersabda,” satu susuan dan dua susuan tidaklah bisa menjadikan mahram”. (H.R.Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar